Minggu, 07 April 2013

TUKAR GULING


TUKERAN BANTAL GULING
SEKEDAR INTERMEZO
Suatu malam saat itu aku baru pulang dari pertemuan pertama sebagai anggota BPD yang membahas mengenai penyusunan Tata Tertib BPD periode 2013 – 2019, saat baru masuk halaman rumahku terdengan dua suara tangisan yang berbeda. Aku hafal benar suara tangisan siapa. Yang satu adalah tangisan anak pertamaku dan yang satunya lagi tangisan anak keduaku.
Selesai memparkirkan motor bututku, aku menghampiri mereka, yang pertama kutanya adalah anak keduaku, dede kenapa nangis. Dengan lantang menjelaskan masalahnya. Kemudian aku bertanya kepada anakku yang pertama kenapa teteh menangis, dia pun sama menjelaskan permasalahannya. Lalu aku bertanya kepada ibunya, ibunya pun menjelaskan semua kejadiannya.
Ternyata kedua anakku bertengkar karena masalah tukar guling. Anakku yang pertama mempunyai bantal guling yang keras dan tidak nyaman untuk dipeluk, sementara bantal guling milik adiknya empuk dan nyaman, sehingga ketika tidak dipakai oleh adiknya ditukar tanpa seijin adiknya. Ketika adiknya mengetahui bantal gulingnya ditukar oleh kakaknya dia mengambil kembali bantal guling yang sedang dipakai oleh kakanya secara paksa, sehingga kepala kakaknya terbentur kayu tempat tidur. Kakaknya pun marah dan melempar bantal guling adiknya hingga mengenai muka adiknya. Akhirnya kedua anak tersebut menangis. Ibunya hanya dapat memisah tanpa bisa memberi pembelaan pada kakaknya ataupun adiknya, itu hal yang wajar karena keduanya adalah anaknya. Ibu hanya bisa bilang nanti bilang ke ayah kalau ayah datang.
Dan ketika aku datang kedua anakku sama-sama mengharap pembelaan dengan masing-masing merasa benar. Tetapi keduanya adalah anakku, anak yang belum tahu secara pasti tentang salah dan benar. Belum tahu cara yang benar dan salah mengenai prosedur tukeran bantal guling tersebut. Kakaknya tahu itu guling milik adiknya tetapi pada saat itu tidak dipakai, dan mungkin karena merasa menjadi kakak dia bisa dengan leluasa mengambil atau menggunakan guling milik adiknya. Sementara adiknya merasa guling itu miliknya yang diambil oleh kakaknya tanpa ijin, makanya dia mengambil guling tersebut secara paksa. Seandainya saja si teteh  bertanya dulu kepada aku mengenai prosedur tukar guling mungkin tidak berakhir dengan lempar-lembaran guling. Soalnya aku pernah juga menukar guling milik ibunya waktu ibunya tertidur setengah pules, dengan alasan gulingku “peot kurang kapuk”, karena tukar guling itu sesuai prosedur maka tidak terjadi rebutan guling antara aku dan ibunya. Prosedur yang ditempuh saat itu adalah mengambil pelan-pelan guling yang sedang dipakai agar ibunya tidak terbangun dan menggantikan dengan guling milikku sambil berkata nanti kalau punya uang  kita beli lagi guling yang empuk, antara sadar dan tidak sadar ibunya mengangguk, dan ketika bangun pagi dengan keadaan guling tertukar tidak terjadi perebutan kekuasaan atas kepemilikan guling tersebut.
Dan aku pun hanya dapat memberi sedikit nasihat kepada kedua anakku bahwa bertengkar dengan orang lain itu tidak boleh, apalagi dengan saudara kadung sangat sangat sangat tidak boleh. Dan keputusan yang ku ambil adalah memberikan kembali guling kapada pemiliknya masing-masing. Apakah dengan cara itu masalah selesai? Tentu tidak. Si teteh masih marah karena ego tetehnya, dan si dede juga masih merengek karena manjanya. Tapi aku yakin besok ketika bangun pagi mereka sudah kembali bercanda lagi.

Begitulah akhir cerita tukar guling yang terjadi antara kedua anakku.
Bukan kasus tukar guling seperti yang ada media masa atau kasus-kasus tukar guling yang ada di internet....
Ich ... atut........    banyak yang masuk penjara karena melanggar aturan pemerintah......
Coba aja cari di GOOGLE dengan kata kunci kasus tukar guling tanah kas desa.